Pastinya kamu sering mendengar kalimat tersebut ketika ada teman kantor yang mau nitip beli Nasi Padang. Atau, ketika memesan di aplikasi online pun banyak yang memilih Rendang sebagai lauknya dengan menulis note: “kuah yang banyak”

Pastinya kamu sering mendengar kalimat tersebut ketika ada teman kantor yang mau nitip beli Nasi Padang. Atau, ketika memesan di aplikasi online pun banyak yang memilih Rendang sebagai lauknya dengan menulis note: “kuah yang banyak”. Tidak asing memang, mengingat Rendang menjadi salah satu makanan favorit yang tidak hanya disukai masyarakat Indonesia tapi juga dunia.

Mengenal Asal Usul Rendang

Rendang merupakan salah satu hidangan bercita rasa lezat khas Sumatra Barat yang berbahan dasar daging. Menurut sejarah, kata Rendang berasal dari bahasa Minangkabau “Randang” yang merujuk pada teknik memasaknya, yaitu “Marandang”. Yang artinya, mengaduk makanan sampai berjam-berjam hingga menyisakan daging yang dibalut dengan bumbu berwarna hitam atau kerap disebut “Dadak”.

Dari catatan abad ke-19, Rendang muncul sekitar abad ke-16, di mana ketika itu perantau Minang suka melakukan perjalanan menggunakan kapal laut ke Selat Malaka serta Singapura. Perjalanan ini biasanya memakan waktu yang cukup lama dan sulit untuk mencari tempat singgahnya kapal. Akhirnya, perantau Minang memutuskan membuat hidangan yang bisa tahan lama, dari sinilah tercipta Rendang.

Selain itu, catatan lain juga menyebutkan kalau Rendang sudah ada sejak masa Raja Adityawarman (1347-1375 M) atau zaman Kerajaan Pagaruyung. Waktu itu, daging yang digunakan untuk membuat Rendang bukan sapi melainkan kerbau. Menurut sumbernya, Rendang diduga hasil perubahan dari Kari asal India tapi lebih kering. Dugaan ini semakin diperkuat ketika pedagang Gujarat membawa Kari ke Indonesia pada abad ke-14.

Nah, dalam suhu ruangan, Rendang dapat bertahan sampai berminggu-minggu karena hasil dari proses memasaknya. Namun, ada juga Rendang yang dimasak dalam waktu singkat dan santannya tidak sampai kering atau biasa disebut “Kalio”, kuahnya berwarna cokelat keemasan. Untuk ketahanan dari Kalio memang tidak selama Rendang—umumnya hanya 2-3 hari. Walau begitu, rasanya tetap lezat tidak kalah dengan Rendang.

 

Makna Budaya dari Rendang

Melansir Wikipedia, Rendang sendiri punya filosofi tersendiri bagi masyarakat Minangkabau, yakni Musyawarah dan Mufakat. Filosofi ini disinyalir merujuk pada empat bahan utama yang digunakan untuk membuat Rendang. Yang terdiri dari: “dagiang” (daging) melambangkan “niniak mamak” (pemimpin suku adat); “karambia” (kelapa) melambangkan “cadiak pandai” (kaum intelektual); “lado” (cabai) melambangkan “alim ulama”; serta “pemasak” (bumbu) melambangkan masyarakat Minang.

Menurut tradisi di Minangkabau, Rendang biasanya disajikan ketika perayaan adat seperti kenduri, menyambut tamu kehormatan, berbagai acara adat Minang, dan lain sebagainya. Namun, seiring waktu, Rendang pun sering disajikan ketika perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan, sekarang sudah banyak rumah makan Padang yang menjualnya dengan ciri khas masing-masing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *